Selasa, 14 Januari 2014

Cerita Bersambung : Lebih Indah dari Mimpi Lucid Bagian 2



Pernahkah kamu mendengar ada seseorang yang bisa mengatur mimpi? Percaya atau tidak, aku adalah salah satu yang bisa. Terdengar mustahil tapi sebenarnya itu nyata dan mungkin. Mengatur mimpi. Fenomena itu lebih dikenal dengan istilah “Lucid Dream” dan aku adalah Lucid Dreamer. And It’s not magic. It makes sense.

Lucid dream adalah keadaan dimana kita sadar bahwa kita sedang bermimpi. Saat kita sedang bermimpi, kita sadar bahwa itu adalah alam mimpi dan kita dapat mengatur alur mimpi kita. Kelima indra kita ketika di alam mimpi, berfungsi sama baik seperti kita berada di dunia nyata. Ya, kita dapat merasakan sentuhan, merasakan sakit, merasakan manisnya coklat, mencium wangi bunga, dan tentu saja, merasakan cinta.

Seperti malam itu, aku sudah siap dengan perlengkapan tidurku. Dengan selimut biru langitku beserta bantal dan guling yang sudah terletak sesuai tempat aku menginginkannya. Aku siap untuk memasuki alam lucid.

Aku berbaring di atas kasurku. Aku dapat merasakan tubuhku lelah dan lelah itu sedang menjalar di tubuhku. Bagus. Tubuh yang lelah memang paling pas untuk melakukan lucid dream. Aku memejamkan kedua mataku sambil menjaga diriku agar tetap sadar. Aku dapat merasakan rasa lelah membawa tubuhku untuk masuk ke alam bawah sadar. Tapi aku harus sadar. Aku biarkan tubuhku melewati fase-fase tertidur. Tapi aku tidak membiarkan pikiranku ikut tidur.  Aku menjaganya bersama kesadaranku. Sampai akhirnya aku merasakan ada sesuatu yang besar menimpa tubuhku. Aku tidak boleh membuka mata. Aku hanya membiarkan hal itu terjadi. Tubuhku tidak bisa digerakan. Dia mati rasa karena sesuatu yang menimpaku itu.Kemudian ruangan gelap yang aku lihat karena aku menutup mata perlahan terang.

Aku melihat ada deretan kursi berwarna biru tua. Kursi itu sedikit mengingatkanku akan kursi di stasiun yang biasa digunakan penumpang yang menunggu kereta datang. Baru sedetik aku memikirkan hal itu aku langsung  melihat rel-rel kereta. Peron-peron muncul dari kabut putih yang tadinya mengelilingi kursi biru. Membuat suasana semakin jelas. Aku memang berada di stasiun kereta. Hanya saja, tidak ada kereta disana.

Orang-orang berlalu lalang tampak tidak peduli dengan kehadiranku. Aku pun tidak peduli dengan mereka. Langkah kaki membawaku menuju deretan kursi yang tadi aku lihat. Sudah ada beberapa orang yang duduk disana. Tapi kursi itu masih menyimpan dua bangku untukku dan seseorang yang aku tunggu.

Sambil berjalan, tanpa sengaja aku melihat telapak tanganku. Ada tulisan RC disana. RC adalah singkatan dari “Reality Check”. Aku harus melakukannya agar aku tidak bingung membedakan dunia mimpi dengan dunia nyata. Aku menutup hidungku dengan tangan dalam waktu yang lama. Memeriksa apakah aku dapat bernapas atau tidak. Ternyata aku masih bisa bernafas. Tentu saja. Aku sudah berhasil melakukan lucid dream. Dan reality check membuatku sadar. Saat ini aku memang sedang bermimpi.

Aku pun tiba di depan deretan kursi itu. Masih berada di kerumunan orang yang masih tidak peduli denganku. Aku duduk di bangku yang tersisa. Menanti sosok yang selama ini aku temui disini. Dalam mimpiku.

“Nak, kamu datang lebih awal?”

Aku mendengar suara yang begitu aku kenal menyapaku. Pandanganku langsung tersorot kepada sosok wanita yang kini berdiri di depanku.

“Mama gak telat kan. Kamu yang datang lebih awal. Ini, mama buatkan lagi selimut untuk kamu. Ada corak lautan disana. Selimut ini hangat dan pasti kamu suka”

Aku memandang wanita dihadapanku yang pada saat itu menyanggul rambutnya dan mengenakan baju berwarna ungu. Ungu, warna aura tertinggi dari seseorang. Wanita itu adalah mamaku yang setiap malam aku temui dalam tidur. Sesekali tentu ada orang lain. Tapi hampir selalu aku hadirkan mama disana. Aku memandang mama dan tersenyum.

“Kamu, malah bengong diajak ngomong. Ini ambil selimutnya. Kalau gak mau mama kasih orang aja nih”

Aku menerima pemberiannya dan memperhatikan dia duduk disampingku.

“Ma, kenapa kita ada di stasiun?” tanyaku kepada mama.
Pertanyaanku tidak aneh. Maksudku, kamu ga pernah inget kan bagaimana mimpimu bermula. Tiba-tiba saja kamu berada di suatu tempat pada pertengahan mimpi. Ya, sekalipun itu adalah mimpimu yang kamu atur.


Mama terdiam sesaat mendengar pertanyaanku. Tapi mama selalu punya jawaban, bukan. Perlahan dia menoleh kepadaku dan tersenyum.

 “Tentu saja untuk menunggu kereta.”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ayolah, tak mungkin menunggu pesawat di stasiun kan? Tapi aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Karena aku memiliki sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadanya.

“Ternyata dia sudah begitu lama membohongiku, ma. Dia sering mengajak gadis-gadis lain untuk hang out. Aku tau sekarang alasannya kenapa dia selalu menyembunyikan ponselnya tiap berada didekatku. Dia juga suka berbohong padaku tentang waktu luangnya. Dia tidak mengijinkanku tau tentang itu. Sehingga dia bisa bebas kemanapun yang ia mau dan menggoda wanita lain. Dia jauh dari setia. Terlalu banyak wanita di hidupnya. Satu lagi yang aku benci adalah dia ternyata mulai merokok lagi setahun yang lalu. And I never knew. Padahal aku cium baunya. Tapi bodohnya aku menolak untuk percaya.”

“Bukan salahmu apabila ada seseorang berbuat jahat kepadamu, sayang"
“Ya, tapi aku merasa dibodohi. Dan aku merasa sangat bodoh dan naïf. Aku merasa tertipu. Aku rasa aku gak akan pernah bisa maafin dia. I gave him my trust and all he did was threw it away.”
“Kamu terdengar seakan kamu marah dengan dirimu sendiri.”
“Ya, aku memang merasa seperti itu.”

Aku menghela nafas panjang. Bahkan saat aku sedang beristirahat dalam tidurku, aku merasa lelah dan sedih setiap kali memikirkan hal ini.

“Disakiti, adalah sesuatu yang tidak akan bisa kamu hentikan untuk terjadi, nak.. But being miserable is always your choice. Daripada merasa sedih, tentu kamu bisa memilih untuk bahagia jika kamu mau.”

Burung gereja bermain-main diatas rel yang lengang. Sesekali terbang rendah dan bercanda dengan udara. Dengan angin. Aku memperhatikan mereka sambil menyimak kata-kata mamaku.

“Tapi terkadang aku merindukannya, ma. Rasanya aneh. Maksudku, dia sudah begitu lama ada di hidupku dan kini tiba-tiba saja dia tidak ada lagi. Aku tahu ini pilihanku. But it’s so hard to forget someone who gave you so much to remember, right?”

“Hanya karena kamu merindukan seseorang bukan berarti kamu menginginkan mereka untuk kembali ke hidupmu. Terkadang itu termasuk sebuah proses. Proses merelakan.
Dengar, ada dua jenis kenangan yang tidak akan kamu lupakan. Kenangan paling bahagia dan kenangan paling menyakitkan”

“Yes, mom. And he gave me booth. It seems impossible for me to forget what he did.”

“Tak ada yang tak mungkin. Mungkin yang perlu kamu lakukan bukanlah melupakan. Kamu hanya butuh merelakan. Mungkin kamu gak bisa melupakan kenangan manis dan pahit yang sayangnya dia berikan sekaligus untukmu. Tapi kamu bisa membuat kenangan yang baru, bukan? Membuat kenangan manis yang lebih manis.”

“Ya, atau bahkan kenangan pahit yang lebih pahit.”

“Dear, when you stop chasing the wrong thing, you give the right thing a chance to catch you.”

Aku melihat sorot matanya yang teduh menatapku. Perasaan tenang menjalar menuju tulang. Melihatnya seakan aku melihat duplikat diriku sendiri. Walau tentu saja aku yang merupakan sebuah duplikat. Kami berdua begitu mirip.

“I just not feel ok”

“It took so long to feel ok. But sometime, it’s ok to not be ok, dear.”

 Aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju rel kereta. Mama dengan seksama memperhatikan polahku dan mengikutinya. Aku berjalan di tengah rel kosong bergandengan dengan mama.

“Kita harus hati-hati nanti ada kereta lewat.” Ujarnya kepadaku.

“Tidak akan, ma. Kita berjalan di rel yang sudah tidak aktif.” Balasku.

“Tentu saja. Ini duniamu, sayang.” Ujar mama sambil tersenyum kepadaku.

Kami masih berjalan meniti rel kereta. Sinar matahari saat itu tidak terlalu terik. Tapi cukup memberi kami rasa hangat yang nyaman. Aku selalu suka sinar matahari yang seperti ini.

Tanganku masih menggandeng mama. Dia masih dengan sabar memperhatikan langkahku agar aku tidak terjatuh tersandung rel kereta. Diam-diam aku perhatikan wajah mamaku. Cantik. Aku tidak mungkin bisa secantik mama. Garis-garis wajahnya seakan menunjukan bahawa dia selalu bahagia.

“Ma, apakah rasanya sepi disana?”

“Tanpamu? Tentu saja sepi, nak.”

“Tapi mama bahagia kan disana? Maksudku, gak ada yang bikin mama sedih.”

“Tidak ada yang membuat mama sedih disana. Mama bahagia. Terkadang mama sedih ketika sedang memperhatikanmu, mama lihat kamu menangis. Tapi yang mama tahu adalah kamu akan selalu baik-baik saja. Tuhan menjanjikan mama hal itu. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Bahwa pelangi akan selalu datang setelah hujan.”

Aku terdiam mendengar ucapan mama. Ada perasaan haru dihatiku saat mendengar hal itu. Aku teringat sesuatu.

“Dulu dia tidak pernah suka jika aku menangis. Aku tau sih ga ada yang suka lihat orang menangis. Tapi dia membentakku ketika aku menangis. Terkadang dia meninggalkan aku sendiri di suatu tempat jika aku menangis disana.
Padahal aku menangis karena dia.”

Aku tertunduk sedih mendengar perkataanku sendiri. Kemudian aku menoleh sedikit memandang mamaku. Dia tersenyum kecil.

“Akan ada pria yang akan terus disampingmu bahkan ketika kamu tidak sedang ceria. Pria itu mungkin akan menemanimu menangis, mengatakan kepadamu untuk menyelesaikan masalah bersama, atau bahkan ikut menangis bersamamu.”

“Aku ga akan menangis lagi di depan cowok. Itu bikin aku terlihat lemah.”

“Pria itu justru akan mampu melihat kekuatan dan ketulusan dalam tangismu. Pria yang akan bersamamu saat kamu menangis dan berkata semua akan baik-baik saja.”

Ahh, aku menghela nafas mendengar semua perkataan mamaku. Wanita ini memang orang yang menceritakan kepadaku tentang fairy tale sewaktu kecil. Semakin dewasa, semakin aku sadar kalau itu tidak nyata. Tapi mama selalu percaya kalau itu nyata.

“Ga akan ada pria seperti itu, ma.”

Aku berkata dengan nada putus asa.

“Ayahmu..”

"Ya, mungkin cuma dia pria satu-satunya. Entahlah, it is so hard to found by someone who will love you no matter what.”

“Ya, dan ketika seseorang yang tepat menemukanmu, kamu akan tau alasannya kenapa tidak pernah berhasil bersama orang lain selama ini.”

Aku tersenyum memandangnya. Rasanya aku tahu alasan kenapa aku begitu suka bermimpi. Mama lebih pemimpi. Dia percaya ada seseorang yang diciptakan Tuhan yang memang dimaksudkan untuk bersama kita. Dia juga percaya bahwa wanita, hanya perlu menunggu untuk ditemukan. Sayangnya aku ga punya alasan untuk membantah semua yang mama percaya. Walaupun aku sedang sakit hati, nyatanya ada fakta yang membuatku harus percaya sama mama. Fakta bahwa ayah telah menemukan mamaku. Dan aku ga pernah melihat pasangan secocok mereka dalam hidupku. Maksudnya, dulu aku tau kalau mereka sering berbeda pendapat. Mamaku yang punya sifat sangat sensitive dan pendiam berdampingan dengan ayah yang konyol dan berisik. Tapi seperti ada magnet antara mereka berdua. Tak peduli sejauh apapun, mereka memang ditakdirkan untuk selalu bersama. Mereka tercipta untuk satu sama lain.

Kami melihat kereta dari kejauhan. Nampaknya kereta itu menuju rel tempat kami menunggu di kursi biru itu.

“Ayo, kita kembali. Kereta yang kita tunggu sudah tiba.”

Kami pun memutar arah kembali berjalan menuju kursi biru.

“Ma, bagaimana kabarnya ayah?” ujarku kepada mama menanyakan kekasihnya.

“Oh, dia sangat sehat. Tentu saja semua orang di surga sehat. Kami berdua sering memperhatikan kamu dari sana.”

“Apa yang sedang dia lakukan saat ini?”

“Apakah harus aku jawab? Tentu saja dia sedang tidur. Dari dulu dia memang tukang tidur dan itu menurun kepadamu.”

Aku tertawa mendengar jawaban mama. Biasanya ayah ada di mimpiku. Kadang aku mengobrol hanya dengan ayah dan terkadang dengan mereka berdua. Tapi kali ini aku hanya ingin bicara dengan mamaku. Kau tau kan? Wanita dengan wanita.

Kami tiba di peron tempat kursi biru kami tadi berada. Kereta juga sudah berhenti dan pintu telah terbuka. Orang-orang yang menunggu berebut masuk kesana.

“Ma, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Mamaku menghadapkan badannya didepanku. Kedua tangan lembutnya memegang bahuku dan dia menatapku sambil tersenyum.

“Pilihlah untuk bahagia.” Katanya.

Aku merekam nasihat singkat mama saat itu. Bahagia, mama memintaku untuk memilih bahagia.

“Bagaimana jika seandainya pria yang Tuhan maksudkan untukku, menemukanku? Bagaimana caranya agar aku tau kalau itu dia?”

“Jika dia datang, kamu akan mengenalinya. Jika dia datang, mungkin kamu tidak perlu sesering ini bertemu dengan mama dan ayahmu. Jika dia datang, kamu akan lebih sibuk untuk terjaga daripada terlelap.”

Aku mencoba merekam semua hal yang diucapkan mama saat itu. Mama yang begitu aku sayangi. Aku pun memeluk mama dengan erat. Mencoba menghirup dalam-dalam semua bau tubuhnya untuk aku ingat ketika aku bangun kelak.

“Keretamu sudah datang, naiklah..”

Aku melepaskan pelukanku dan memandangnya.

“Kita tidak naik bersama-sama?” tanyaku keheranan.

“Oh tidak sayang. Aku akan tetap disini.”

Mama kemudian menggandeng tanganku dan membawaku ke depan pintu kereta. Aku masuk ke dalam kereta dan berdiri di pintunya. Sambil terus menggandeng tangan mamaku yang berada di luar.
Mama mencium tanganku dengan sayang dan mengusap kepalaku. Lalu dia melepasnya.

“Kemana kereta ini akan membawaku pergi, ma?” tanyaku yang saat itu masih keheranan. Padahal itu miimpiku.

“Back to reality, sayang.” Ujarnya.

Seketika pintu otomatis kereta menutup membuat jarak antara aku dan mama. Aku masih bisa melihatnya tersenyum kepadaku. Kereta berjalan perlahan menjauhi tempat mama berdiri tadi. Aku lihat dia masih disana melambaikan tangan kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya juga.
“Sampai bertemu lagi, ma” ujarku dalam hati sambil memeluk selimut biru laut pemberian mama tadi.

Inilah, sudah saatnya aku bangun.

*bersambung*

Minggu, 12 Januari 2014

Cerita Bersambung : Lebih Indah dari Mimpi Lucid Bagian 1


 


Aku dapat merasakan lembut kain yang menyelimuti tubuhku malam ini. Selimut tebal berwarna biru langit yang hangat. Selimut yang mampu membuat dingin malam menjauhi tubuhku.

Aku tidak suka dingin.

Tapi aku mudah sekali merasa kedinginan. Kata mama, aku sering kedinginan karena tubuhku kurus. Tidak ada cukup lemak dalam tubuhku yang mampu membuat badanku merasa hangat. Jadi hawa dingin akan dengan cepat merasuk tulangku.

Apakah itu masuk akal? Gak tau juga sih. Tapi semua yang diucapkan mama selalu benar kan?
Aku menyukai kehangatan yang diberikan selimutku. Sama sukanya dengan bantal yang aku peluk dan guling yang aku letakan di kepala. Kakakku selalu menganggap aneh dengan kebiasaanku menggunakan perlengkapan tidur itu. Lebih aneh lagi begitu tau aku selalu memasukan kakiku ke sarung yang dikenakan oleh bantalku.

Tapi itulah caraku tidur setiap malam. Dan inilah, satu lagi yang mungkin lebih aku cintai dari selimut, bantal, dan gulingku. Ya, tentu saja tidur itu sendiri. Aku bahkan bisa tidur dimana saja dan kapan saja. Mamaku dulu sekali pernah mengatakan kalau semasa hidup, kita ga boleh banyak tidur. Ada banyak waktu untuk tidur kelak. Ketika kita mati. Semasa hidup, kita harus perbanyak beramal dan menjalankan tugas kita sebagai seorang hamba.


“I know, mom. Hanya saja, aku kan ga kebanyakan tidur juga. At least waktu tidurku dengan waktuku terjaga masih dalam hitungan seimbang kok”


Itulah yang selalu aku jaga dalam pikiranku. Faktanya walau aku begitu suka tidur, aku juga gak kebanyakan tidur.

Tapi, ada orang sok tahu yang pernah komentar tentang kesukaanku ini.


“Tidur untuk kamu jadi semacam pelarian ya, Jes? Tempat dan waktu kamu meletakan sejenak semua masalah yang ada di bahu itu. Dalam tidurmu, ada dimensi ruang dan waktu yang begitu kamu puja. Sehingga kamu merasa ingin tinggal disana. Jauh, jauh dari dunia nyata. Dunia nyata yang kamu pikir paling jahat sama kamu doang. Padahal engga.”


Well, walau dia emang sok tahu setidaknya dia benar akan satu hal dan tentu salah akan satu hal pula. Pertama, dia salah dengan mengatakan tidurku adalah pelarian dari seluruh masalahku di kehidupan nyata. Hidupku bahagia kok. Aku juga gak bisa bilang sih kalau hidupku mulus tanpa masalah. Hidupku kadang bergejolak tapi juga kadang dipenuhi bunga-bunga. Ada yang bilang, hidup itu seperti kita menaiki roller coster. Kadang kita naik merangkak perlahan, kemudian kita sampai ke puncak, lalu tiba-tiba menukik tajam ke bawah. Kita tidak pernah tau kelokan macam apa yang terjadi di depan kita. Semua terjadi secara sekelebat. Jantung kita berpacu melewati itu semua. Ada perasaan takut. Tapi walau begitu, kita semua menikmatinya bukan?

Kita semua menikmatinya. Seperti aku yang juga menikmati hidupku disaat terjaga. Menikmati hidup dengan segala kelokannya. Tapi aku juga suka tidur. Temanku itu, benar akan satu hal. Aku memang punya dimensi ruang dan waktu yang begitu aku puja dalam tidurku. Aku menikmati waktu-waktuku ketika berada di dimensi itu. Dimensi yang aku masuki hanya apabila aku tidur. Dimensi itu adalah mimpi. Pada akhirnya, alasan aku begitu suka tidur adalah karena aku suka bermimpi. Aku menyukai hampir semua mimpiku. Mimpiku selalu indah. Tentu saja, karena aku yang mengatur mimpiku sendiri.

***

#SPOILER BAGIAN KEDUA#
Pernahkah kamu mendengar ada seseorang yang bisa mengatur mimpi? Percaya atau tidak, aku adalah salah satu yang bisa. Terdengar mustahil tapi sebenarnya itu nyata dan mungkin. Mengatur mimpi. Fenomena itu lebih dikenal dengan istilah “Lucid Dream” dan aku adalah Lucid Dreamer. And It’s not magic. It makes sense.

Lucid dream adalah keadaan dimana kita sadar bahwa kita sedang bermimpi. Saat kita sedang bermimpi, kita sadar bahwa itu adalah alam mimpi dan kita dapat mengatur alur mimpi kita. Kelima indra kita ketika di alam mimpi, berfungsi sama baik seperti kita berada di dunia nyata. Ya, kita dapat merasakan sentuhan, merasakan sakit, merasakan manisnya coklat, mencium wangi bunga, dan tentu saja, merasakan cinta.

Seperti malam itu, aku sudah siap dengan perlengkapan tidurku. Dengan selimut biru langitku beserta bantal dan guling yang sudah terletak sesuai tempat aku menginginkannya. Aku siap untuk memasuki alam lucid.