Minggu, 24 Juli 2011

Malam Kacau

Saya selalu mendengar bahwa nilai kebenaran itu sangatlah relatif. Kebenaran yang hakiki hanya ada pada Tuhan. Dont be so judgemental. Karna apa yang dilakukan orang lain mungkin salah dimata kita namun adalah jalan terbaik baik orang yang menghadapinya.

Teringat akan kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa yang melakukan perjalanan untuk belajar. Nabi Musa As. dikejutkan oleh Nabi Khidhir yang menangkap anak kecil yang sehat dan lincah. Nabi Khidhir menidurkan dan menyembelihnya, memenggal kepalanya. Di sini Nabi Musa As. tidak sanggup untuk bersabar terhadap apa yang dilihatnya. Dengan tangkas dia mengingkari, sementara dia menyadari janji yang diputuskannya. "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang munkar." (QS. Al-Kahfi: 74) Nabi Khidir menjelaskan bahwa beliau membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. "Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)." (QS Al-Kahfi: 80-81)

Beberapa waktu saya percaya akan kerelatifan kebenaran. Saya menolak menjadi orang cupat walau mungkin saya melakukannya beberapa saat tanpa sadar. Saat teman menceritakan saya mengenai masalahnya dan sikap apa yang dia ambil, saya tidak berani banyak berkomentar. Saya ingin jadi pendengar yang baik. Saya ingin memahami dulu kondisinya baru memberi nasihat.

Semakin kesini saya menjadi semakin bingung. Bingung sendiri dengan konsep itu. Kemudian semakin bingung saat saya masuk kedunia perkuliahan. Pada awal saya lihat lingkungan kampus terdiri dari dua kekuatan besar yang terlihat seakan begitu bersebrangan. Kemudian saya masuk ke semua golongan itu. Mencoba bergaul dengan semua orang dalam mereka. Setelah interaksi itu saya pahami bahwa dalam diri manusia tidak mungkin 100 % terdiri dari sifat jahat atau 100% dari sifat baik. Kita semua punya sisi itu. Atau bahkan sisi abu abu. Semua kembali menjadi relatif. Tidak pasti. Kini saya lihat mereka semua itu sebenarnya sama saja. Sama sama manusia. Tidak ada yang jadi malaikat atau dewa atau bahkan iblis.

Dari itu semua saya belajar untuk mengenali manusia, mempelajari tingkah lakunya. Membenci tindakannya. Tetap berteman dengan personalnya. Namun masih bisa belajar dari sisi baiknya. Sanguinis, Plagmatis, Koleris, Melankolis. Empat dasar sifat manusia. Sanguinis dengan sifatnya yang ceria, easy going, mudah cair, dan friendly. Plagmatis dengan sifatnya yang suka damai, suka ketenangan, agak malas, dan cenderung menghindari konflik. Koleris dengan sifatnya yang bossy, orang yang memimpin, memanage sesuatu dan kinda perfectsionist. Melankolis dengan sifatnya yang sensitif, diam, pengamat, pemikir.  Beberapa teman menganggap beberapa sifat dasar itu tidak dapat disandingkan dengan sifat lain. Orang sanguinis akan sullit interaksi dengan melankolis. Begitupun dalam memilih teman hidup. Koleris dengan koleris biasanya akan sulit mempertahankan hubungan. Biasanya tiap tiap orang memiliki dua sifat yang dominan. Saya memiliki sifat plagmatis-sanguinis. Akan tetapi entah kenapa saya berpikir tiap tiap dari kita memiliki keempat sifat tersebut dalam diri. Kalau saya tidak koleris saya tidak akan berpikir untuk mengerjakan dan berpartisipasi dalam berbagai macam projek. Kalau saya tidak melankolis saya tidak mungkin menghabiskan waktu saya untuk menulis di blog ini. Kita semua memiliki empat sifat dasar tersebut hanya saja teori memilih dua sifat yang dominan sebagai sifat kita.

Berdasarkan teori tersebut saya sampai pada satu kesimpulan bahwa kita bisa bergaul dan berinteraksi dengan siapa saja. Saling pengertian, tidak menghakimi, that’s the key. Saat SD kita semua memakai baju seragam. Perbedaan yang ada dalam diri manusia manusia seakan dibuat kabur dengan seragam. Saat kuliah kita semua memakai baju bebas. Sengaja diperlihatkan bahwa kita memang berbeda. Hikmahnya adalah kita harus menyadari perbedaan kita dan menerimanya sebagai sesuatu yang indah. Tidak dibuat kabur atau dibuat sama. Bukan dibuat SATU tapi dibuat BERSATU. Pada akhirnya bukan kebenaran yang relatif. Dia mutlak sesuai dengan pribadi yang menyikapinya. Sesuai dengan pribadi yang memahami kebenaran itu seperti apa. Namun kita hanya butuh sikap saling pengertian. Tidak menghakimi seseorang yang salah atau setidaknya, yang kita anggap salah.

Malam ini saya masih bingung.
Saya rasa kita semua selama hidup menjadi korban dari prasangka orang lain.
Korban perbedaan persepsi.
Tapi orang lain hanya bisa komentarin hidup kamu bukan?
So just keep goin Jessi..

Anyway, saat saat seperti ini saya jadi rindu pelukan mama. Mama mungkin tidak akan banyak bicara. Tapi pelukannya selalu menenangkan. Nantinya hanya akan berpesan pada saya untuk tidak berburuk sangka dengan orang lain. Selalu seperti itu.

Ahh.. Mama..
Aku sedang belajar terbang tanpamu..