Rabu, 17 April 2013

Ziarah Sore


Selasa, 15 April 2013 di tanah Bengkulu. Sebuah provinsi yang terletak di selatan Sumatra. Aku sudah berada di tempat kelahiran ayahku ini sejak tiga hari yang lalu. Tepatnya hari Minggu, 13 April. Aku ada disini dalam rangka menghadiri pernikahan sepupuku, docek teddi, untuk bertemu sanak saudara, dan tentu saja berziarah ke makam ayahanda tercinta juga nenek dan datuk.


Setelah hari-hari sebelumnya disibukkan oleh pesta pernikahan docek, sore ini aku akan pergi berziarah bersama om aris dan ketiga anaknya : Angga, Ati, dan Anto. Om Aris adalah adik dari bapakku. Sehingga ketiga anaknya tak lain adalah sepupu-sepupuku.


Angga berusia sama denganku. 21 tahun. Sebenarnya namanya bukan Angga, tapi Anan. Angga adalah nama yang dimilikinya sewaktu ia masih kecil. Dulu ia sering sakit sehingga om ku memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Anan. Berdasarkan cerita sejak saat itu dia tidak sakit-sakitan lagi. Namun, sejak kecil aku terbiasa memanggilnya Angga sampai sekarang. Mungkin hanya aku keluarga satu-satunya yang masih memanggilnya seperti itu. Angga saat ini berkuliah di Universitas Dehasen Bengkulu. Salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bengkulu.

Ati, adalah anak kedua om-ku. Saat ini dia berusia 18 tahun dan masih duduk di bangku sekolah. Tepatnya kelas 2 di SMKN 1 Bengkulu. Saat ini dia sedang magang di Universitas Bengkulu. Selama aku berada di Bengkulu, aku tidur di kamarnya. Lumayan kesepian juga kalau dia sedang magang di pagi hari. Dia biasa pulang selepas dzuhur.

Anak om-ku yang terakhir adalah Anto. Dia berusia 10 tahun. Kelas 3 di SDN 3 Bengkulu. Tubuhnya kecil dan imut-imut. Kulitnya hitam manis.

Pukul 15:30 kami berempat berangkat ke makam bapak, nenek, dan datukku. Sambil membawa satu botol berisi air dan campuran bunga, kami pun pergi berjalan kaki karena pemakaman itu dekat dari rumah. Suasana di Kota Bengkulu sudah berbeda dari ingatanku sewaktu kecil. Jalan-jalan yang aku lewati sekarang sudah beraspal. Rumah-rumah khas kampung yang terbuat dari papan bercampur dengan rumah modern dari batu bata. Tata kotanya semakin baik. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu pohon-pohon kelapa yang miring tertiup angin sambil mengantarkan aroma garam laut di udara. Menyihir.

Hanya 5 menit aku menikmati perjalanan ini. Ya, kami sudah sampai ke area pemakaman. Berbeda dengan pemakaman di Bekasi atau kota besar lainnya. Pemakaman di Bengkulu tidak memiliki penjaga atau pengurus. Semua makam disini dijaga langsung oleh kerabatnya.

”Sampai kita to. Ingat apa yang ayah ajarkan tidak? Sebelum kita masuk ke makam?” kata om ku kepada anak bungsunya Anto.

”Ucapkan Assalamualaikum Ya Ahli kubur..” jawab Anto.

” Ya, ucapkanlah..”

Kami berempat pun mengucapkan hal itu dalam hati. Angga dan Ati terlihat sangat tenang.
Saat masuk, kami disambut dengan ilalang-ilalang yang tumbuh liar. Sudah aku bilang tadi, pemakaman ini memang tidak ada penjaganya. Maka ilalang yang tumbuh lebat itu adalah pemandangan yang biasa. Orang-orang hanya membersihkan area kuburan kerabatnya saja.

”Napo idak bawa cangkul, yah?” ujar Ati.

”Kemarin Docek dan Abang Fauzan sudah kesini. Sudah dibersihkan” jawab Om aris dengan logat Bengkulunya.

Pertama-tama kami datang ke makam bapak dulu. Makam bapak terhitung bersih bila dibandingkan makam yang lain.

”Inilah jes, makam bapak. Ayo kita berdoa. Anan, Ati, Anto, doakan om yo. Kirim surat Al-Fatihah”

Aku pun berdoa sendiri. Menundukkan kepala dan memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa ayahku dan meringankan siksa kuburnya. Aku pernah dengar ada hadits yang mengatakan bahwa wanita tidak dianjurkan berziarah ke makam. Karena khawatir dia akan menangis disana. Rasanya itu benar. Aku terharu berada disana.

Kami semua selesai berdoa. Kecuali Anto. Anto masih tertunduk dalam doanya. Tidak lama setelah itu, Anto selesai.

”Ngece apo to?” tanya om ku kepada Anto. Artinya ”bilang apa to?”

”Om ni pesan ke ayah. Suruh sembahyang Jumat tepat waktu. Idak boleh terlambat idak. Harus tepat”

”Iyo? Apo lagi?”

”Sudah”

”Pakai baju apo?”

”Putih, pakai sorban”

”Idak titip pesan ke Mba Jessi?”

”Idak”

”Kau nan?” kali ini om ku bertanya kepada Angga.

”Idak ado”

”Kau ti?” tanya om kepada Ati.

”Idak ado jugo”

”Nah, sekarang jessi siramlah kuburan bapak. Tiga kali dari pusar ke bawah lalu keatas. Sisakan untuk makam nenek dan datuk yo”

Aku pun melakukan sesuai yang diinstruksikan om ku.

”siko jes” ujar om ku sambil mengambil botol air dari tanganku dan mencipratkan ke makam disekeliling makam bapakku.

”Kita idak boleh egois jes. Semua kita doakan” tambahnya.

Setelah selesai kami berpindah dari makam bapakku ke makam nenek. Letaknya tidak jauh dari makam bapak. Hanya selisih beberapa blok saja.

Kami pun melakukan hal yang sama. Mendoakan nenekku yang saat ini sudah tenang disana. Saat tertunduk dalam doa aku teringat sosok nenekku yang cerewet dan periang.

”Oy, cucung ambo.. Cantik nian kau tu nak..”
Aku teringat ucapannya dulu saat bertemuku.

”Pai lah ke pasar bengkulu. Kau hendak beli apo belilah.. Nenek titip lengkeng ajo yo”
Nenekku itu sangat suka buah kelengkeng.

Kami pun selesai berdoa. Sama seperti saat di makam bapakku tadi, om ku bertanya kepada Anto.
”Ada apo to?”

”Idak ado yah”

”Idak ada? Kau nan?” kali ini om ku berpindah bertanya kepada Angga.

”Idak ado. Cuma tadi di makam om tegak galo yah”

”Iyo, disini juga tegak galo yah” ujar Ati menambahkan.

”Iyo?ngece apo?”

”Ngece, makasih sudah berkunjung yah” tambah Angga.

”Ada apa om?” Tanyaku yang tidak mengerti bahasanya.

”Tadi pas kita berdoa untuk bapak tu jes, semua penghuni kuburan disini berdiri semua jes. Berterima kasih karena tadi kita juga mendoakan mereka”

”Nah sekarang siramlah lagi kaya di makam Bapak tadi jes” tambahnya

Selesai sudah mendoakan nenekku di makamnya. Terakhir, kami pun berpindah ke makam datuk. Makam datuk letaknya dekat sekali dengan makam nenek. Hanya berselang satu kuburan saja.

Sama seperti sebelumnya, aku mendoakan datukku. Datukku dulu adalah sosok yang pendiam. Aku merasa tidak begitu mengenal datuk. Tapi entah kenapa ketika ia masih ada aku sering merasa bahwa datuk sebenarnya memperhatikan semua anggota keluarganya. Sekalipun dia pendiam. Aku selesai berdoa diikuti om dan sepupu-sepupuku. Kecuali Anto. Lagi-lagi, Anto tertunduk lebih lama dari pada yang lainnya. Bagaimana mungkin anak berumur 10 tahun berdoa lebih lama daripada kami yang mengenal datuk jauh lebih lama dari dirinya?

”Ado apo to?” tanya om aris.

Anto pun menengadahkan wajahnya.

”Datuk beri pesan ke mbak Jessi”

”Nah, apo?”

”Kece’nyo terima kasih lah pai ke makam datuk. Datuk senang”

”Iyo yah, datuk sedang duduk kayo biaso.” tambah ati.

”ngece apo?”

”idak ado cuma senyum ajo”

”Kau nan?”

”Aih entahlah, yah. Tegak galo siko tuh” ujar Angga sambil tertawa kecil. Ia mengatakan bahwa sedari tadi semua penghuni kuburan berdiri kepada kami.

”Yasudah, Anto siram air ke makam datuk to. Setelah itu kita pulang”

Ziarah kami sore itu pun selesai. Kami kembali melewati ilalang liar untuk keluar ke daerah pemakaman.
”Anto, Ati, sama Angga kok bisa kaya gitu om?” tanyaku.

”Haha itulah jes. Anak om tu indigo galo. Bisa nengok semua”

”Ko bisa om?”

”Iyo, kita ini masih turunan kerajaan di Bengkulu dulu. Waktu Anto masih di kandungan dulu tu, om ajak mba emmi ke teman om. Teman om bilang, ‘Ris, anak kau tu kelak punya keistimewaan. Dia bisa nengok’ ternyata terbukti”

”Kalau Angga dia bisa sebenernya. Bisa ngobrol sama leluhur malah jes. Tapi sayang dia tu malas sama yang kaya gitu tu”

”Jangan jess, merinding jess bisa nengok tu. Angga kalau magrib sering lihat makhluk aneh-aneh rupanya” timpal Angga yang sedari tadi mendengarkan kami.

Aku pun tidak ingin lanjut bertanya. Karena sejujurnya sejak tadi aku takut. Kami pun diam selama perjalanan ke rumah. Menikmati semilir angin sore dengan suara deburan ombak pantai. Aku tidak tahu apakah yang dialami oleh ketiga sepupuku tadi adalah yang sebenarnya. Tapi seandainya itu sungguhan, aku tidak pernah berharap mewarisinya sama sekali.

2 komentar:

  1. Aku juga merinding bacanya. Indigonya kayak gitu. Kuat juga ya mentalnya.
    Oh iya, kalau bahsa jawa, "Ngece opo" itu artinya "menghina apa" lho. Hehehe...

    BalasHapus
  2. Iya, banu. Sepupu aku emang banyak yang nurun bakat itu. Untung aku ga. Ga kuat mental deh kalo aku mah.
    Oh kalo bahasa jawa artinya menghina? Hehehe jauh bangett..

    BalasHapus